Keranjang Sampah

Selamat datang di sebuah keranjang sampah rytemis. Keranjang ini adalah sebuah tempat sahaja untuk membuang remah kehidupan. Selayaknya keranjang sampah, busuk dan selalu dihindari memang hakikat sebagai tempat pembuangan akhir sisa pesta, sisa karya, atau pun sisa apa saja. Menjadi pencarian terakhir, bak penyair mencari makna, jika tiada sedangkan sampah telah menunggunya.

Monthly Archives: Februari 2012

Kearifan Lokal sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing

1.  Pendahuluan

Globalisasi adalah era yang sangat terbuka dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi yang berawal dari kepentingan ekonomi berdampak pada semua aspek kehidupan di seluruh dunia. Nilai-nilai yang bersifat global dijadikan sebagai sebuah tatanan yang dapat menggantikan tatanan yang bersifat lokal atau regional. Indonesia, sebagai sebuah negara berkembang, mau tidak mau harus menyesuaikan tatanan tersebut untuk mengambil perannya dalam tata kehidupan dunia.

Menurut Hoed (2008: 107) diperlukan pemaknaan ulang dalam proses globalisasi, yang berawal dari utara ke selatan, terlepas dari pertanyaan apakah globalisasi itu merupakan proses alami atau bentukan. Pemaknaan itu bertujuan untuk memunculkan wacana alternatif, selain wacana yang telah bergulir saat ini. Salah satu alternatif pemikiran itu adalah upaya peningkatan peran Indonesia dalam berbagai hal yang dapat dilihat oleh dunia. Perlu disusun langkah strategis untuk meningkatkan peran Indonesia dalam menyusun wacana alternatif. Untuk itu, diperlukan gerakan yang bersinergi dari berbagai ranah untuk mengisi peluang pemaknaan itu, termasuk peluang dalam ranah pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.

Salah satu aspek untuk mendukung pemikiran Hoed adalah berani memunculkan ide lokal yang diangkat ke permukaan. Ide lokal itu salah satunya dapat berupa kearifan lokal masyarakat Indonesia. Kearifan lokal dapat digunakan sebagai materi alternatif dalam mendekonstruksi makna globalisasi. Mengacu kepada Rahyono (2009:7), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Nilai-nilai arif itu harus dimunculkan untuk dikenalkan kepada dunia sebagai wacana alternatif dalam usaha pemenuhan dekonstruksi itu.

 

2.  Kearifan Lokal sebagai Bahan Ajar BIPA

Pasal 33 UU RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengamanatkan penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Pegawai yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. Segala upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dipersiapkan secara tepat, termasuk bahan ajar yang digunakan dalam pemelajaran terutama bagi penutur asing. Dengan demikian, bahan ajar yang baik akan menjadi penting dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.

Pengajaran BIPA adalah pengajaran yang khas. Pengajaran BIPA tidak dapat disamakan dengan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur bahasa Indonesia. Kekhususan itu menuntut adanya perlakuan yang khusus pula dalam pengajarannya. Perlakuan khusus itu berlaku dalam semua aspek pengajaran, antara lain pengajar, pemelajar, kurikulum, metode, dan bahan ajar, serta aspek lain yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pemelajar.

Mengapa bahan ajar BIPA juga harus bersifat khusus? Tuntutan bahan ajar BIPA bersifat khusus dilandasi sebuah pemikiran bahwa pemakai bahan ajar itu adalah orang asing, yang terkait dengan tingkat pemahaman kondisi budaya Indonesia. Pengajaran BIPA tidak dapat dilepaskan dari budaya yang ada. Untuk menjadikan bahan ajar BIPA menjadi lebih menarik, diperlukan muatan-muatan khusus yang akan membantu pemelajar BIPA semakin tertarik pada bahasa Indonesia. Muatan budaya lokal dalam bahan ajar akan membuat pemahaman pemelajar terhadap budaya semakin tinggi. Semakin tinggi pemahaman budaya tertentu akan semakin tinggi juga tingkat toleransi dan tingkat kepekaan pemelajar dalam menggunakan keterampilan bahasanya.

Keberhasilan pengajaran BIPA dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah aspek kompetensi kebahasaan. Kompetensi kebahasaan dapat dilihat dari kualitas keterampilan berbahasa pemelajar, seperti  menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Aspek kedua adalah pemahaman budaya dalam berkomunikasi. Semakin tinggi pemahaman budaya pemelajar semakin kecil juga gegar budaya dan semakin tinggi toleransinya. Jadi, pemahaman budaya yang dibangun dari pemahaman bahan ajar berupa budaya Indonesia, salah satunya berupa kearifan lokal, akan sangat membantu pemelajar dalam meningkatkan kompetensi berbahasa.

Penggunaan aspek kearifan lokal dalam bahan ajar berarti mengangkat nilai lokal dalam pemahaman pemelajar. Nilai lokal ini akan  menunjukkan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Pada saat informasi dengan sangat mudah diakses oleh siapa pun, kekuatan lokal akan mempunyai daya jual dan daya tawar yang tinggi. Nilai lokal yang unik inilah yang akan menjadi sebuah nilai jual dalam komunitas global. Hampir semua nilai lokal yang masuk dalam nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sumber dan inspirasi untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai kehidupan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal banyak membantu masyarakat dalam mempertahankan hidup.

Menurut Quaritzch Wales kearifan lokal merupakan kumpulan ciri budaya dari mayoritas masyarakat sebagai hasil dari pengalaman hidup mereka (Rahyono 2009:7). Pengertian itu menyangkut (1) ciri budaya, (2) sekelompok manusia sebagai pemilik budaya, dan (3) pengalaman hidup yang menghasilkan ciri budaya. Pendapat lain mengatakan bahwa kearifan lokal adalah sebuah kebijaksanaan setempat yang dikonsepsikan oleh masyarakat dan konsep tersebut mempunyai dampak daya tahan terhadap masalah yang timbul di masyarakat. Sebuah komunitas di masyarakat akan mempunyai cara tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Dengan demikian aspek yang muncul dalam kearifan lokal akan sangat menarik bagi pemelajar asing karena adanya aspek khusus mengenai ciri budaya, pemilik budaya, kebijaksanaan memecahkan masalah.

Ada sejumlah tujuan penggunaan kearifan lokal dalam pemelajaran BIPA. Telah diketahui bersama bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya. Dalam budaya yang sangat beragam terpendam juga berbagai kearifan lokal. Setiap budaya di Indonesia memiliki kearifan lokal sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut berkembang. Saat ini belum dilakukan inventarisasi secara maksimal terhadap kearifan lokal. Salah satu tujuan pembuatan bahan ajar berbasis kearifan lokal adalah membantu pemangku kepentingan dalam melakukan inventarisasi kearifan lokal. Semakin banyak dan beragam bahan ajar yang berbasis kearifan lokal semakin tinggi sumbangsihnya dalam membantu pemangku kepentingan dalam inventarisasi kearifan lokal yang ada. Inventarisasi kearifan lokal memerlukan usaha yang serius dalam penggaliannya. Hampir setiap etnik di Indonesia memiliki kearifan lokal, tetapi tanpa adanya usaha pengumpulan bukan tidak mungkin usaha dekonstruksi dalam globalisasi tidak akan berhasil. Saat ini anak-anak muda Indonesia mungkin sudah tidak mengenal lagi budaya leluhurnya. Bukan tidak mungkin juga anak-anak muda tidak mengenal kearifan-kearifan budaya yang dimilikinya.

Tujuan berikutnya adalah membantu dalam revitalisasi kearifan lokal, dengan cara memberi pemaknaan ulang konsep kearifan tersebut. Kadang kala sebuah kearifan lokal di suatu daerah dimaknai oleh komunitas tertentu sebagai sebuah nilai dari leluhur yang tidak boleh didiskusikan kandungan nilai di dalamnya. Generasi terdahulu mungkin dapat menerima konsep ini, tetapi generasi saat ini memerlukan logika berpikir dalam menerima nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan  pandangan Hoed tentang dekonstruksi globalisasi. Generasi terdahulu masyarakat Jawa Tengah mengenal adanya konsep tabu dengan ungkapan ora elok. Masyarakat Sunda juga mengenal konsep itu dengan ungkapan  pamali. Generasi terdahulu masih mafhum dan mau mengerti jika orang tuanya mengatakan ora elok atau pamali. Akan tetapi, generasi muda saat ini memerlukan logika berpikir untuk menerima konsep-konsep tersebut. Konsep tabu dan pantangan ini dimiliki hampir semua etnis di Indonesia.

Prioritas penggunaan kearifan lokal sebagai bahan ajar lebih baik didasarkan juga pada tingkat keilmiahan kearifan lokal. Faktor keilmiahan harus sebagai dasar pijakan pertimbangan penggunaan materi ini. Untuk itu, tingkat keilmiahan harus tetap dijadikan pertimbangan dalam pembuatan bahan ajar ini. Boleh saja materi-materi yang berupa mitos dimunculkan, tetapi hanya sebatas informasi sebagai bahan ajar untuk meningkatkan kompetensi berbahasanya. Jadi, dalam penggunaan bahan ajar ini tetap dibedakan antara penggunaan mitos dan kearifan lokal. Pembedanya adalah bentuk penyajian pemaknaan yang muncul dari materi itu.

Tujuan berikutnya adalah untuk melestarikan budaya. Menurut Rahyono (2009:9), pemelajaran kearifan lokal mempunyai posisi yang strategis. Posisi strategis itu, antara lain (1) kearifan lokal salah satu pembentuk identitas, (2) kearifan lokal bukan merupakan sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri, dan (5) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Jika hal ini dijadikan panduan dalam menyusun bahan ajar, tentu posisi strategis itu tidak hanya berdampak pada pemilik budayanya, tetapi dapat juga berdampak pada pemelajarnya.

Selanjutnya, penyusunan bahan ajar BIPA berbasis kearifan lokal selain berdampak pada pemilik budayanya, kegiatan ini berdampak pula bagi orang asing yang memelajarinya. Salah satu tujuan itu adalah untuk membuat materi ajar menjadi menarik. Bagi pemelajar asing mendapat bahan ajar berbasis budaya baru, apalagi materi berupa kearifan lokal merupakan sesuatu yang menarik. Diharapkan dengan keunikan dan sesuatu yang bersifat baru itu akan dapat menambah motivasi pemelajar dalam mengembangkan kompetensi berbahasanya.

Sebagai bahan ajar, materi kearifan lokal merupakan salah satu media untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Dengan pemilihan materi yang tepat, diharapkan pemelajaran  akan berjalan  lebih menarik. Bahan ajar yang berbasis kearifan lokal akan membuka jendela pemahaman pemelajar BIPA, meskipun pemelajar belum pernah ke Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat yang sangat strategis dalam memahami budaya Indonesia. Tentu saja bahan ini harus dikemas semenarik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan pemelajar.

Selain itu, bahan ajar yang berbasis kearifan lokal akan berdampak pada citra positif masyarakat Indonesia. Teknologi tradisonal yang ramah lingkungan, keseimbangan alam, kesopanan, dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal itu akan memberikan gambaran kepada pemelajar bahwa masyarakat Indonesia memiliki keunggulan dalam berbagai ranah sejak masa lalu. Kearifan-kearifan itu digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam melakukan aktivitas hariannya. Kearifan itu memiliki makna yang sangat positif dan berperan dalam pengembangan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, kesan yang baik tentu dapat diambil dari penggunaan bahan ajar ini.

Salah satu pertimbangan penting yang lain, mengapa kearifan lokal harus dimunculkan kembali adalah imbauan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memasukkan kearifan lokal dalam prioritas dari Kerangka Aksi Hyogo, yang menitikberatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Salah satu kegiatan utama yang teridentifikasi di bawah prioritas aksi ini berfokus pada pentingnya pengelolaan dan pertukaran informasi, serta menggarisbawahi penggunaan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, dan warisan budaya yang relevan yang dapat dibagikan dan diadaptasi oleh masyarakat di tempat lain.

Contoh sederhana sebuah kearifan lokal di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan sekitarnya adalah  pranata mangsa. Masyarakat petani dahulu mengenal konsep itu untuk melakukan kegiatan dalam bercocok tanam. Konsep itu ternyata sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak abad ke-17. Hal ini dapat dilihat dari serat Centhini karya Pujangga Pakubuwana V yang memuat konsep tersebut. Dengan konsep itu  petani mengetahui kapan harus menanam padi, kapan menanam palawija dan sebagianya. Dengan pranata mangsa petani mengikuti keseimbangan alam sehingga budi daya akan berjalan efektif. Contoh penggunaan pranata mangsa, petani panen pada mangsa ke-9 bertepatan dengan keluarnya ular dan burung pemakan serangga. Ular dan burung merupakan predator bagi tikus dan wereng. Konsep ini akan menghasilkan keseimbangan lingkungan yang efektif.

Gerakan revolusi hijau pada tahun 1950—1980 yang menggeser pemahaman pranata mangsa ternyata berdampak buruk bagi lingkungan. Revolusi hijau yang berdasar pada tiga pilar utama, yaitu sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, serta benih unggul dalam meningkatkan produktivitas ternyata berdampak sangat signifikan dalam peningkatan hasil tanaman pangan, seperti padi. Akan tetapi, dampak terhadap lingkungan akibat revolusi hijau tidak kalah signifikannya. Karena mudahnya irigasi, padi bisa ditanam tiga kali dalam setahun. Hama serangga akan sangat mudah diberantas dengan pestisida. Begitu juga, benih-benih unggul hasil rekayasa genetika begitu mudah dihasilkan. Akhirnya, atas landasan optimalisasi produksi semua dijalankan secara masif tanpa melihat dampak terhadap lingkungan. Padahal penanaman padi berseling palawija, penggunaan air hujan sebagai sarana irigasi, dan penggunaan bibit alami memiliki tujuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan pula. Revolusi hijau menjauhkan para petani dari pranata mangsa. Sebetulnya pranata mangsa mencerminkan kehidupan para petani selaras dengan alam.

Ternyata konsep pranata mangsa ini juga diterapkan oleh masyarakat Indonesia lainnya seperti konsep wariga di Bali, polantara di Sulawesi Selatan, kala di Jawa Barat, dan porhalaan di Sumatra Utara. Bahan-bahan ajar yang sifatnya seperti pranata mangsa ini dapat diangkat menjadi materi yang menarik. Ketertarikan pemelajar dapat distimulasi dari beberapa aspek yang sifatnya tradisional dan unik, tetapi masih memiliki relevansi yang dapat dimanfaatkan dalam dunia yang sudah sangat modern sekalipun.

Bahan ajar yang baik salah satunya adalah bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemelajarnya. Sesuai dengan The Common European Framework of Reference for Languages keterampilan berbahasa seseorang dapat dibagi dalam empat tingkat ranah. Pertama, ranah kesintasan, dalam ranah ini seorang pemelajar dapat menguasai keterampilan berbahasa untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan yang bersifat sintas. Pemelajar dapat menggunakan materi–materi di sekitar kehidupan pribadi, kehidupan rumah bersama keluarga dan teman, dan penggunaan keterampilan dalam praktik  sebagai individu seperti membaca teks sederhana, menjelaskan tentang hobi, dan tema-tema seputar pemenuhan kebutuhan yang bersifat sintas.

Ranah kedua adalah keterampilan berbahasa dalam ranah sosial. Dalam ranah ini seorang pemelajar sudah dapat menggunakan keterampilan berbahasanya dalam ranah sosial dan publik. Pemelajar sudah dapat menggunakan materi-materi bahasa yang sifatnya sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang pemelajar dapat memahami materi-materi yang bersifat sosial, budaya, serta materi-materi yang terkait dengan kehidupan publik yang bersifat sosial. Selain itu, pemelajar dapat memahami budaya dari sebuah materi yang diterimanya. Ranah publik mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi sosial.

Ranah ketiga adalah  ranah vokasional. Dalam ranah ini pemelajar dapat menggunakan keterampilan berbahasanya untuk kepentingan pekerjaan. Materi-materi seputar vokasional dapat digunakan dalam pengembangan keterampilan pemelajar. Terakhir adalah ranah akademik. Dalam ranah ini pemelajar dapat menggunakan keterampilannya untuk keperluan akademik. Dalam ranah pendidikan ini pemelajar bahasa dianggap sudah mampu menggunakan keterampilan berbahasanya dalam tingkat yang paling rumit.

Muatan budaya yang didalamnya terdapat kearifan lokal dapat digunakan untuk bahan ajar setidaknya pada tingkat ranah sosial. Artinya, bahan-bahan kearifan lokal bisa digunakan untuk pemelajar BIPA yang mempunyai keterampilan berbahasa setidaknya pada tingkat madya. Jika kita menggunakan pemeringkatan yang dilakukan CEFR, bahan ajar ini bisa digunakan pemelajar dari tingkat pemelajar B-1.

Kearifan lokal yang digunakan sebagai bahan ajar BIPA dapat bersumber dari berbagai ranah kehidupan. Kearifan lokal dapat bersumber pada kearifan lokal dari ranah teknologi, sosial, seni, dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Selain pranata mangsa, contoh lain yang dapat digunakan dalam pembuatan bahan ajar dapat diambil dari konsep ilmu perbintangan, lagu-lagu daerah, cerita rakyat, dongeng, permainan anak yang bersifat trasional, dan materi lain yang mengandung nilai-nilai arif dari budaya tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan bahan-bahan itu menjadi bahan ajar untuk keterampilan berbahasa. Aspek muatan yang ada di dalamnya adalah dampak penggunaan bahan itu. Diharapkan materinya dapat membantu pengembangan  keterampilan berbahasa dan muatannya memiliki dampak yang baik bagi pemelajarnya.

Aspek yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan media dan pengemasan materi yang sesuai dengan kebutuhan pemelajar. Materi-materi kearifan lokal untuk pengajaran BIPA selain dikemas dalam bentuk cetak, perlu diupayakan pula dikemas dalam bentuk audio, audio visual, multimedia pemelajaranan interaktif, dan bahan ajar berbasis laman. Bahkan, materi tersebut dapat berupa materi asli diambil langsung dari lapangan jika kondisinya memungkinkan. Pengemasan ini menjadi penting, karena selain materi ajar sebagai tujuan utama kompetensi berbahasa, masih ada materi tambahan berupa nilai-nilai arif yang sangat bermanfaat bagi pemelajarnya.

3.  Penutup

Kearifan lokal adalah salah satu bagian penting dari budaya Indonesia. Penggalian kearifan lokal tetap harus dilakukan sebagai upaya pemertahanan jati diri bangsa Indonesia. Di tengah-tengah pusaran globalisasi, diperlukan usaha strategis dalam mengupayakan pemertahanan jati diri bangsa, salah satunya dapat melalui penyusunan bahan ajar BIPA yang diambil dari materi kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai bahan ajar dalam pengajaran BIPA dapat bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki kearifan lokal juga bermanfaat bagi pemelajar asing.

Bahan ajar berbasis kearifan lokal dapat diberikan untuk pemelajar setidaknya pada tingkat madya, karena tingkat tersebut pemelajar sudah dapat memanfaatkan keterampilan berbahasa pada ranah sosial. Namun demikian, kearifan lokal sebagai bahan ajar harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pemelajar.

Saat ini diperlukan usaha-usaha untuk mengembangkan bahan ajar dalam rangka pengembangan pengajaran BIPA. Tujuan utama penggunaan kearifan lokal adalah selain pemelajar memiliki kompetensi berbahasa, pemelajar juga memiliki pengetahuan tentang kearifan lokal Indonesia yang akan membantu pemahaman budayanya serta menambah citra baik terhadap masyarakat Indonesia.

 

 

Daftar Pustaka

Duryatmo, Sardi. 2010. “Kalender Warisan Leluhur”. Jakarta: Trubus edisi 487 Juni 2010/XLI.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Mayani, Luh Anik. 2008. “Kemanfaatan Bahan Ajar BIPA Tingkat Pemula”. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Mustakim. 2003. “Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise     Finney (Editor). Prosiding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language  Foundation (IALF).

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

Shaw, Rajib, Noralene Uy, dan Jennifer Baumwoll. 2008. “Kearifan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana”. Diakses dari http://www.unisdr.org.

Sutarto, Ayu. 2010. “Kearifan Lokal untuk Pembelajaran Bahasa dan Sastra” Dalam Sunu Catur Budiyoso dan M. Lutfi Baihaqi (Editor). Prosiding Seminar Internasional Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana, Balai Bahasa Surabaya, HPBI.

The Common European Framework of Reference for Languages. Language Policy Division, Council of Europe, Strasbourg. Cambridge University Press. Diakses dari http://www.uk.cambridge.org/elt.

Widiyanto, Hidayat. 2010. “Penguatan Lembaga Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA): Upaya Peningkatan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional”. Prosiding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra 2010. Mataram: Balai Bahasa Nusa Tenggara Barat.